Wiwitan

 Niat jalan-jalan sore biasa dengan Palmer, kami justru diberi sego gurih oleh masyarakat kampung sekitar.

 

Jika cuaca bagus, Palmer dan saya biasanya melewatkan sore berjalan-jalan di sekitar kampung.  Di tempat kami tinggal, masih ada beberapa bidang sawah yang dikelola oleh warga sekitar.  Kami sering bertemu jumpa dengan beberapa petani, sekedar menyapa, atau ngobrol singkat dengan mereka.  Anehnya, meskipun telah dikelilingi oleh sawah dari kecil, makan nasi setiap hari, saya tidak tahu menahu tentang seluk beluk padi sedari pengolahan tanah, pembibitan, hingga panen.  Karena itu, saya jadi malu dengan sebuah kebetulan hari ini.

Singkat cerita, karena maghrib sudah hampir tiba, rute jalan-jalan sore kami persingkat.  Kami langsung menuju jalan kecil yang jadi favorit saya.  Jalan ini dihimpit oleh beberapa sawah besar, tanpa ada bangunan tinggi di sekitar, jadi Gunung Merapi bisa terlihat jelas jika cuaca sedang bagus.  Namun hari ini, kami lihat jalan yang biasanya sepi ini ramai oleh sekumpulan anak-anak.  Kami mendekat, dan sekumpulan anak-anak itu juga didampingi oleh ibu-ibu yang sibuk membungkus es campur.

Kami berhenti.  Sekedar menyapa dan beberapa remaja minta berfoto dengan Palmer.  Sembari menunggu sang bintang jumpa penggemar, saya melihat ada dua ibu-ibu duduk di aspal dan membungkus nasi.  Saya pikir beliau menjual sate. Salah satu ibu di sebelah saya berceletuk,  "Mbak, minta wiwitan sama ibu-ibu itu lho." 

Setelah mendekat, barulah saya sadar kedua beliau ini sedang melaksanakan wiwitan, semacam syukuran karena beberapa hari ke depan mereka akan panen.  Seorang bapak yang jongkok di pojok sawah menyalakan dupa dan membakar kemenyan serta menaruh beberapa kelopak bunga mawar.  

Tentu yang menjadi perhatian saya adalah makanan yang dibungkus oleh Ibu Parsinah dan Ibu Ngadinah.  Nasi gurih, ayam ingkung, kedelai goreng, bunga padi, urap, dan ikan asin.  


Sebelum pandemi ini, kata Ibu Parsinah, wiwitan diselenggarakan lebih ramai.  Namun untuk panen kali ini, mereka berdua berinisiatif untuk membuat nasi gurih sendiri, berbagi dengan tetangga via pesan mulut.  Kami berdua, yang tetangga pun bukan, akhirnya kecipratan berkah wiwitan ini.

Nasi gurih yang menjadi hidangan utama wiwitan ini dibuat dengan santan serta (sepertinya) dibumbui dengan rempah-rempah dasar: daun salam, lengkuas, dan mungkin sedikit sereh.

 

 

Lauk utama yang disajikan adalah ayam ingkung; ayam kampung yang direbus dengan santan dan juga beberapa bumbu dasar.  Rasanya gurih.

Kedelai goreng ini adalah campuran dari biji kedelai yang digoreng dan dicampur dengan potongan bawang putih goreng.


Urap yang disajikan sedikit lebih basah dari urap yang biasa saya makan.  Hampir tidak ada bumbu, namun terdapat beberapa potongan ikan asin.  Ibu Parsinah menjelaskan bahwa selain ikan asin, urap ini bisa juga ditambah dengan yuyu atau kepiting sawah kecil.


Bunga padi: hidangan yang belum pernah saya makan sebelumnya. Saya tidak bisa mencari hidangan yang serupa, namun dari rasa dan tektstur, sepertinya hidangan ini dibuat dari bulir-bulir padi yang sudah matang, namun tidak melalui proses penggilingan (belum menjadi beras).  Sama sekali tidak ada bumbu yang terasa.

Semua hidangan ini sama sekali tidak menggunakan cabai.  Dan mungkin lebih tawar dari makanan-makanan yang biasa saya makan.  Hal ini tentu saja karena bukan masalah rasa yang jadi hal utama.  Yang lebih penting, ada ucapan syukur.

Comments

Popular Posts